Istilah perjanjian baku berasal dari terjemahan dari bahasa
Inggris, yaitu standard contract. Standar kontrak merupakan perjanjian
yang telah ditentukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini
telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak, terutama pihak
ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah.
Kontrak baku menurut Munir Fuadi adalah Suatu kontrak tertulis
yang dibuat oleh hanya salah satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan
seringkali tersebut sudah tercetak (boilerplate) dalam bentuk-bentuk
formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika
kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan
data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan
dalam klausul-klausulnya dimana para pihak lain dalam kontrak tersebut
tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk
menegosiasi atau mengubah klausul-kalusul yang sudah dibuat oleh salah
satu pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku sangat berat
sebelah.
Sedangkan menurut Pareto, suatu transaksi atau aturan adalah sah
jika membuat keadaan seseorang menjadi lebih baik dengan tidak
seorangpun dibuat menjadi lebih buruk, sedangkan menurut ukuran
Kaldor-Hicks, suatu transaksi atau aturan sah itu adalah efisien jika
memberikan akibat bagi suatu keuntungan sosial. Maksudnya adalah membuat
keadan seseorang menjadi lebih baik atau mengganti kerugian dalam
keadaan yang memperburuk.
Menurut Treitel, “freedom of contract” digunakan untuk merujuk kepada dua asas umum (general principle).
Asas
umum yang pertama mengemukakan bahwa “hukum tidak membatasi
syarat-syarat yang boleh diperjanjikan oleh para pihak: asas tersebut
tidak membebaskan berlakunya syarat-syarat suatu perjanjian hanya karena
syarat-syarat perjanjian tersebut kejam atau tidak adil bagi satu
pihak. Jadi ruang lingkup asas kebebasan berkontrak meliputi kebebasan
para pihak untuk menentukan sendiri isi perjanjian yang ingin mereka
buat, dan yang kedua bahwa pada umumnya seseorang menurut hukum tidak
dapat dipaksa untuk memasuki suatu perjnjian. Intinya adalah bahwa
kebebasan berkontrak meliputi kebebasan bagi para pihak untuk menentukan
dengan siapa dia ingin atau tidak ingin membuat perjanjian.
Tanpa
sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian
yang dibuat tidak sah. Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan
sepakatnya. Sepakat yang diberikan dengan dipaksa adalah contradictio in
terminis. Adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat. Yang mungkin
dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan pihak kepadanya,
yaitu untuk setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud atau
menolak mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud. Dengan akibat
transasksi yang diinginkan tidak dapat dilangsungkan. Inilah yang
terjadi dengan berlakunya perjanjian baku di dunia bisnis pada saat ini.
Namun kebebasan berkontrak diatas tidak dapat berlaku mutlak
tanpa batas. Artinya kebebasan berkontrak tidak tak terbatas. Dalam
melihat pembatasan kebebasan berkontrak terhadap kebolehan pelaksanaan
kontrak baku terdapat dua pendapat yang dikemukaan oleh Treitel yaitu
terdapat dua pembatasan. Yang pertama adalah pembatasan yang dilakukan
untuk menekan penyalahgunaan yang disebabkan oleh karena berlakunya asas
kebebasan berkontrak. Misalnya diberlakukannya exemption clauses
(kalusul eksemsi) dalam perjanjian-perjanjian baku. Yang kedua
pembatasan kebebasan berkontrak karena alasan demi kepentingan umum
(public interest)
Dari keterangan diatas dapat di ketahui bahwa tidak ada kebebasan
berkontrak yang mutlak. Pemerintah dapat mengatur atau melarang suatu
kontrak yang dapat berakibat buruk terhadap atau merugikan kepentingan
masyarakat.
Pembatasan-pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak yang
selama ini dikenal dan diakui oleh hukum kontrak sebagaimana telah
diterangkan diatas ternyata telah bertambah dengan pembatasan-pembatasan
baru yang sebelumnya tidak dikenal oleh hukum perjanjian yaitu
pembatasan-pembatasan yang datangnya dari pihak pengadilan dalam rangka
pelaksanaan fungsinya selaku pembuat hukum, dari pihak pembuat peraturan
perundang-undangan (legislature) terutama dari pihak pemerintah, dan
dari diperkenalkan dan diberlakukannya perjanjian adhesi atau perjanjian
baku yang timbul dari kebutuhan bisnis.
Di Indonesia kita ketahui pula ada dijumpai tindakan negara
yang merupakan campur tangan terhadap isi perjanjian yang dibuat oleh
para pihak. Sebagai contoh yang paling dikenal adalah yang menyangkut
hubungan antara buruh dan majikan/pengusaha. Tetapi tidak semua tingkat
peraturan perundang-undangan dapat membatasi asas kebebasn berkontrak,
namun hanya UU atau Perpu atau peraturan perundan-undagan yang lebih
tinggi saja yang memepunyai kekuatan hukum untuk emmbatsai bekerjanya
asas kebebasan berkontrak.
Bila dikaitkan dengan peraturan yang dikeluarkan yang berkaitan
dengan kontrak baku atau perjanjian standar yang merupakan pembolehan
terhadap praktek kontrak baku, maka terdapat landasan hukum dari
berlakunya perjanjian baku yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia,
yaitu :
1. Pasal 6.5. 1.2. dan Pasal 6.5.1.3. NBW Belanda
Isi ketentuan itu adalah sebagai berikut :
Bidang-bidang usaha untuk mana aturan baku diperlukan ditentukan dengan peraturan.
Aturan
baku dapat ditetapkan, diubah dan dicabut jika disetujui oleh Menteri
kehakiman, melalui sebuah panitian yasng ditentukan untuk itu. Cara
menyusun dan cara bekerja panitia diatur dengan Undang-undang.
Penetapan, perubahan, dan pencabutan aturan baku hanya mempunyai
kekuatan, setelah ada persetujuan raja dan keputusan raja mengenai hal
itu dalam Berita Negara. Seseorang yang menandatangani atau dengan cara
lain mengetahui isi janji baku atau menerima penunjukkan terhadap syarat
umum, terikat kepada janji itu.
Janji baku dapat dibatalkan, jika pihak kreditoir mengetahui atau
seharunya mengetahui pihak kreditur tidak akan menerima perjanjian baku
itu jika ia mengetahui isinya.
2. Pasal 2.19 sampai dengan pasal 2.22 prinsip UNIDROIT (Principles of International Comercial Contract).
Prinsip UNIDROIT merupakan prinsip hukum yang mengatur hak dan
kewajiban para pihak pada saat mereka menerapkan prinsip kebebasan
berkontrak karena prinsip kebebasan berkontrak jika tidak diatur bisa
membahayakan pihak yang lemah. Pasal 2.19 Prinsip UNIDROIT menentukan
sebagai berikut :
Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak menggunakan
syarat-syarat baku, maka berlaku aturan-aturan umum tentang pembentukan
kontrak dengan tunduk pada pasal 2.20 – pasal 2.22.
Syarat-syarat baku merupakan aturan yang telah dipersiapkan terlebih
dahulu untuk digunakan secara umum dan berulang-ulang oleh salah satu
pihak dan secara nyata digunakan tanpa negosiasi dengan pihak lainnya.
Ketentuan ini mengatur tentang :
a. Tunduknya salah satu pihak terhadap kontrak baku
b. Pengertian kontrak baku.
3. Pasal 2.20 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut :
Suatu persyaratan dalam persyaratan-persyaratan standar yang tidak
dapat secara layak diharapkan oleh suatu pihak, dinyatakan tidak berlaku
kecuali pihak tersebut secara tegas menerimanya.Untuk menentukan apakah
suatu persyaratan memenuhi ciri seperti tersebut diatas akan bergantung
pada isi bahasa, dan penyajiannya.
4. Pasal 2.21 berbunyi
Dalam hal timbul suatu pertentangan antara persyaratan-persyaratan
standar dan tidak standar, persyaratan yang disebut terakhir dinyatakan
berlaku.
5. Pasal 2.22
Jika kedua belah pihak menggunakan persyaratan-persyaratan standar
dan mencapai kesepakatan, kecuali untuk beberapa persyaratan tertentu,
suatu kontrak disimpulkan berdasarkan perjanjian-perjanjian yang telah
disepakati dan persyaratan-persyaratan standar yang memiliki kesamaan
dalam substansi, kecuali suatu pihak sebelumnya telah menyatakan jelas
atau kemudian tanpa penundaan untuk memberitahukannya kepada pihak lain,
bahwa hal tersebut tidak dimaksudkan untuk terikat dengan kontrak
tersebut.
6. UU No 10 Tahun 1988 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
7. UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Dengan
telah dikeluarkannya peraturan-peraturan tersebut diatas menunjukkan
bahwa pada intinya kontrak baku merupakan jenis kontrak yang
diperbolehkan dan dibenarkan untuk dilaksanakan oleh kedua belah pihak
karena pada dasarnya dasar hukum pelaksanaan kontrak baku dibuat untuk
melindungi pelaksanaan asas kebebasan berkontrak yang berlebihan dan
untuk kepentingan umum sehingga perjanjian kontrak baku berlaku dan
mengikat kedua belah pihak yang membuatnya.
Macam-macam perjanjian obligator ialah sbb;
1). Perjanjian dengan Cuma-Cuma dan perjanjian dengan beban
Perjanjian dengan Cuma-Cuma ialah suatu perjanjian dimana pihak yang
satu memberikan suatu keuntungan kepada yang lain tanpa menerima suatu
manfaat bagi dirinya sendiri. (Pasal 1314 ayat (2) KUHPerdata).
Perjanjian dengan beban ialah suatu perjanjian dimana salah satu pihak
memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain dengan menerima suatu
manfaat bagi dirinya sendiri.
2). Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik
Perjanjian sepihak adalah suatu perjanjian dimana hanya terdapat
kewajiban pada salah satu pihak saja. Perjanjian timbal balik ialah
suatu perjanjian yang memberi kewajiban dan hak kepada kedua belah
pihak.
3). Perjanjian konsensuil, formal dan, riil
Perjanjian konsensuil ialah perjanjian dianggap sah apabila ada
kata sepakat antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian
tersebut. Perjanjian formil ialah perjanjian yang harus dilakukan dengan
suatu bentuk teryentu, yaitu dengan cara tertulis. Perjanjian riil
ialah suatu perjanjian dimana selain diperlukan adanya kata sepakat,
harus diserahkan.
4). Perjanjian bernama, tidak bernama dan, campuran
Perjanjian bernama adalah suatu perjanjian dimana Undang Undang
telah mengaturnya dengan kententuan-ketentuan khusus yaitu dalam Bab V
sampai bab XIII KUHPerdata ditambah titel VIIA. Perjanjian tidak
bernama ialah perjanjian yang tidak diatur secara khusus. Perjanjian
campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai perjanjian yang sulit
dikualifikasikan.